Tegal Laka-laka: Superpositive Traveling (Part 1)

Lagi-lagi, saya gak bisa ngilangin baper kalo berkunjung ke suatu tempat atau kota baru. Kali ini, perasaan yang gak ilang-ilang masih tertinggal di Kota Tegal, sebuah kota pantura yang terkenal dengan penyelamat umat dengan warungnya.

Pilihan menghabiskan weekend di Tegal sebetulnya karena akan menghadiri resepsi pernikahan temen kerja, seorang gadis--yang sekarang tak lagi gadis--asal Margasari, Tegal Selatan. Sebelumnya sudah direncakan, keberangkat dari Bandung akan menggunakan mobil bareng temen kerja lainnya. Saya sih cuma nebeng. Dari Bandung yang bakal berangkat, dua rombongan. Nah, dari sebelumnya, seperti biasa kalau mau bepergian ke luar kota, saya suka cari teman Couchsurfing. Jadi, kalau rombongan niatnya pulang-pergi langsung Bandung-Tegal, saya pilih extend di sana, nyari couchsurfer (CS-er) yang bisa nge-host barang sehari dua hari.

Setelah bikin pengumuman rencana trip di akun CS saya, gak lama seorang CS-er menawarkan diri buat ngehost. Dia juga menawarkan diri buat nemenin keliling-keliling Tegal. Wah, tawaran yang asyik! Saya cek akun profil CS-er tersebut karena itu penting sebagai langkah aman menggunakan CS hehe. Liat profil yang cukup jelas dan reference yang baik, saya pun merespons CS-er tersebut. Namanya Mas Taufik Asrofie. Fixed, selama di Tegal saya akan tinggal di tempatnya dia.

Berangkat

Hari-H pun tiba. Sesuai pesan teman yang punya mobil, kita akan berangkat jam 5 subuh dari kantor. Makanya, saya sudah berangkat sejak setengah 5, bahkan shalat subuh di dekat kantor. Begitu sampai jam 5, ternyata belum ada satu pun kepala yang hadir. Saya coba hubungi, no response. Tetiba muncul temen satu lagi setelah 20 menitan. Kata dia, temen yang punya mobil masih di perjalanan. Entah, perjalanan mana yang dimaksud. Mungkin perjalanan menuju alam sadar :evil:

Singkatnya, perjalanan pun akhirnya dimulai pukul 06.30.Waktu yang amat sangat sudah bisa diprediksi. Itu pun baru rombongan saya, rombongan satu lagi masih di Tol Padaleunyi dan belum sampai kantor. Kita menggunakan jalur Bandung-Sumedang-Majalengka-Kertajati-Tol Cipali. Saya didapuk jadi peta hidup. Alasannya dua. Pertama, si teman yang menikah cukup dekat dengan saya (karena dulu tinggal berdua yang lajang di kantor, dan kebayang sekarang jadi berapa orang lagi yang lajang?). Kedua, mungkin saya paling muda dan paling gak gaptek :wink: Saya sebetulnya gak ngerti Tegal karena sama sekali belum pernah ke sana. Tapi orang-orang terus minta saya buat jadi penunjuk jalan. Walhasil, rute yang dipilih begitu keluar tol Cipali pun hasil ijtihad sendiri dibantu Maps yang lemot gegara pake provider I******.

Sekitar jam 1 siang, kita pun sampai di lokasi dengan rute Tol Cipali-Brebes-Kota Tegal-Slawi-Margasari. Suasana lokasi segimana tertulis di undangan masih sepi. Orang-orang tampak masih pulang dari masjid sehabis shalat Jumat. Kita pun shalat zuhur dan berganti baju plus memantaskan diri biar gak kucel-kucel amat (kebetulan, rombongan saya lelaki semua). Acara resepsi pun ternyata baru dimulai. Akad sih sudah dari sebelum Jumatan. Singkatnya, setelah makan parasmanan plus maksa saya nyumbangin dua lagu dangdut, rombongan pun memutuskan balik ke Bandung. Padahal, rombongan kedua belum sampai di lokasi.

Ketemu Host

Masjid Agung Slawi, Kabupaten Tegal
Barulah, saya berniat memisahkan diri. Sebelumnya wanti-wanti, kalau mereka tinggal pulang dengan rute yang sama dengan berangkat (padahal katanya ada rute yang lebih simple yang langsung tembus ke Brebes dari Margasari). Saya pun turun di Masjid Agung Slawi, masjidnya ibu kota Kabupaten Tegal. Saya dan Mas Taufik sudah janjian via Whatsapp. Katanya, saya mau dijemput di Masjid Agung Slawi.

Kesan pertama turun di Slawi pun sudah menyenangkan. Suasananya adem dan cukup sepi, tidak sepanas Kota Tegal dan jauh lebih sepi dibanding biasa saya lihat di Bandung. Di mana-mana banyak ornamen teh poci, khasnya Tegal. Selang beberapa menit, Mas Taufik pun datang dan langsung membawa saya ke rumahnya di Adiwerna. Dia tinggal bersama keluarganya. Mas Taufik ini orangnya superramah, langsung menawarkan diri untuk pergi ke beberapa tempat. Salah satunya ke Guci, kawasan wisata Tegal yang selama ini bikin saya penasaran.

Tugu Poci di depan Masjid Agung Slawi
Poci, ikon khas Tegal
Saya sih agak gak enak, antara pengen langsung pergi atau istirahat dulu. Saya juga gak tahu, Mas Taufik nawarin buat pergi karena memang pengen langsung pergi atau gak enak kalau gak langsung ngajak saya pergi. Apalagi di luar mendung, jadi bingung mau bilang apa. Haduh, maklumlah saya orang Sunda tulen, serba gak enakan dan gak bisa straight to the point kalau ngomong :lol: Akhirnya, kita memutuskan untuk langsung pergi ke Guci. Kata Mas Taufik sih dekat, cuma satu jaman. Tapi ternyata, perjalanannya lumayan lama. Kalau di Cianjur, perjalanannya berasa ke Puncak meskipun dalam versi yang sepi.

Di jalan akhirnya turun hujan. Kami menepi dulu. Saya berkali-kali nanya, apa perjalanan masih jauh atau enggak. Mas Taufik bilang lumayan sedang. Saya tawarkan buat batalin pergi karena gak enak kalau hujan-hujanan. Tapi Mas Taufik sepertinya gak mau bikin saya kecewa dan terus melanjutkan perjalanan dengan jas hujan. Hujan terus turun dan menderas sampai kita tiba di Objek Wisata Guci. Ternyata, Guci seperti Cipanas-nya Garut, kawasannya terdiri dari banyak pemandian umum dengan beragam harga dan fasilitas. Bahkan ada yang gratis. Meskipun masuk ke Kawasan Guci harus tetap bayar, tentunya.

Salah satu pemandian di Kawasan Wisata Guci, Tegal. Suasana sesaat sebelum magrib.
Kawasan Objek Wisata Guci, Tegal, menjelang magrib.

Salah satu pemandian di Kawasan Wisata Guci, Tegal. Harga tiket masuk pemandian ini cuma Rp10.000.
Kita pun menepi di salah satu pemandian air panas yang saya lupa namanya. Tapi, untuk masuknya cukup bayar 10.000. Mas Taufik bilang dia gak mau mandi karena hujan. Kalau saya sih, lagi-lagi gak enak kalau batal mandi. Masa udah diantar jauh-jauh tapi gak jadi mandi, haha. Lagi pula, sayang, udah jauh ke Guci tapi gak menikmati alamnya. Akhirnya saya pun mandi dan hujan pun perlahan berhenti.

Hari sudah gelap. Jam magrib sudah lewat beberapa menit. Saya menghampiri Mas Taufik dan memberi isyarat untuk pulang. Tapi, Mas Taufik mengajak saya menemui temannya yang rumahnya masih dalam Kawasan Guci ini. Kita pun meneruskan perjalanan dengan motor ke bukit yang lebih tinggi. Meskipun udah berjaket, tapi dinginnya supermantap. Begitu sampai di rumah temannya yang ternyata anak gunung, kita ngobrol-ngobrol dan shalat magrib. Di rumahnya, saya ditawari buat mandi panas lagi, dong. Wah bisa-bisa keriput entar. Tapi ternyata, air di kamar mandinya panas semua. Gak ada air dingin sama sekali, kecuali didiamkan dulu di ember. Hahaha, saya pikir asyik banget kalau punya rumah di sini, gak perlu water heater mahal-mahal. Tapi, malahan orang sana yang justru pengen bisa menikmati air dingin alami :( Itulah kehidupan, Anak Muda! :lol:

Gak Sengapak yang Dibayangkan

Selepas ngobrol, saya dan Mas Taufik memutuskan kembali ke Slawi. Adiwerna, tepatnya, kecamatan yang berbatasan langsung dengan Kota Tegal. Setelah makan nasgor di pinggir jalan, saya kira saya mau dibawa langsung pulang ke rumah Mas Taufik berhubung mata udah 5 watt dan terus menurun hehe. Tapi, Mas Taufik ternyata masih mampir ke rumah temannya lagi, Mas Tanto. Saya pun dikenalkan. Sebagai orang yang aslinya introvert, ketemu banyak orang baru dalam jumlah banyak itu jadi beban sendiri, haha. Karena konsekuensinya ada dua: kesan pertama menyenangkan yang bakal bikin pertemuan mulus atau kesan pertama sebaliknya yang bakal bikin sepanjang pertemuan kayak agresi militer: awkward dan bikin mati gaya.

Alhamdulillah, Mas Tanto sama seperti Mas Taufik. Asyik dan menyenangkan. Apalagi kita semua pernah sama-sama pernah terlibat di Kelas Inspirasi. Saya di Bandung, Mas Taufik dan Mas Tanto di Tegal. Kita juga sama-sama pengajar dan orang yang bergelut di dunia pendidikan. Kita juga sama-sama gak ngerokok. Intinya: dunia aman bagi saya. Jadi, ternyata, Mas Tanto dan komunitasnya, termasuk Mas Taufik di dalamnya, bakalan ngadain kegiatan Minggu lusa. Mereka dari Komunitas Aksi Sobat Tegal bakal gabung dengan komunitas-komunitas lain di Kota Tegal buat bikin aksi cinta lingkungan, yaitu dengan susur pantai Muarareja. Semua komunitas itu bergabung di Gabungan Pecinta Lingkungan (GPL).

Mas Tanto pun ngajak saya buat gabung. Katanya, gabung aja dengan Mas Taufik di bawah bendera komunitas Couchsurfing Tegal. Mas Taufik bilang, ada beberapa CS-er Tegal juga yang bakal gabung. Wah, saya sih tertarik buat ikutan. Katanya juga, Sabtu malamnya, semua komunitas itu bakal camping di Pantai Muarareja. Terdengar asyik, tapi kayaknya untuk camping, saya perlu mikir-mikir karena bakal banyak bahkan ratusan orang baru di situ. Ketemu 3 orang baru aja berasa agresi militer, apalagi orang ratusan, bisa-bisa berasa dibom atom di Nagasaki. Malam itu pun kedatangan lagi satu teman mereka, Mas Prio, namanya.

Kesan saya pertama kali berdiam di Tegal cukup kaget. Yang saya bayangkan, di sana bakalan "rame" sama orang-orang yang saling ngapak satu sama lain. Tapi, dari sore tadi ketemu dan ngobrol sama orang Tegal langsung, gak se-"berisik" yang dibayangkan :lol: Mereka tetap ngapak,tapi ternyata bicara santai dan cenderung pelan. Tapi, Mas Tanto bilang, begitulah karakter orang Tegal Selatan, nada bicara cenderung lebih lembut. Saya pun baru tahu, Mas Tanto bilang, orang Tegal sebetulnya bukan bicara bahasa ngapak seperti halnya Banyumas atau Cilacap. Mereka menyebutnya bahasa Tegal atau Tegalan. Dan malam itu pun, saya dan Mas Taufik akhirnya bisa pulang ke rumah Mas Taufik dan beristirahat.

Akhirnyaaa, ketemu kasur juga. Cerita keesokan harinya, saya tulis di bagian selanjutnya aja deh :)

Posting Komentar

0 Komentar