Mendadak Cirebon

Monumen Sintren, kesenian tradisional khas Cirebon.
Beberapa waktu lalu, sebetulnya saya sempat nulis tentang jalan-jalan dadakan ke Cirebon, sebuah kota kecil di ujung timur laut Jawa Barat. Tapi karena cuma ngendap di draft, mudah-mudahan sih gak jadi basi kalau dihangatkan dulu sebelum disajikan :mrgreen: Soalnya, menurut saya, Cirebon ini termasuk kota cantik di Jawa Barat. Terakhir kali ke Cirebon sebetulnya waktu masih kecil banget, zaman SD, waktu jenguk saudara di sana. Makanya, pas kemarin sempat ke sana lagi, rasanya jauh berbeda. Dan, sentimen saya positif alias suka sama kotanya Sunan Gunung Djati ini.

Ya, namanya aja dadakan. Saya dan seorang teman, Novan, punya rencana pergi ke Ciamis buat menghadiri resepsi saudaranya Novan di Kawali. Kebetulan saudaranya kan dekat banget sama saya. Sebagai Muslim yang baik, setiap dapat undangan tentu saya usahakan untuk penuhi meskipun agak-agak gimana gitu datang ke undangan yang labelnya "pernikahan" *brb lihat tanggal lahir di KTP* Resepsi pernikahannya hari Sabtu. Dan, kita udah punya rencana berangkat sehari sebelumnya dan memutuskan pengen jalan-jalan dulu ke Cirebon.

Jauh sih antara Ciamis dan Cirebon. Bahkan, kalau dari Bandung, rutenya jelas berlawanan: Cirebon ke utara, Ciamis ke selatan. Tapi, karena penasaran sama kota penghasil rebon ini dan gak tahu kenapa, pengen aja gitu main ke sana, kita putuskan berangkat Jumat pagi. Pagi sekitar jam 6, kita naik bus Sahabat jurusan Bandung-Cirebon di Terminal Cicaheum. Ongkosnya Rp45.000. Sampai Cirebon, pas Jumatan, di Terminal Harjamukti. Kesan pertama begitu turun: panasnya pecah kagak nahan! Dan, terminalnya terbilang cukup sepi.

Kita pun langsung menuju tujuan pertama yang udah direncanakan, yaitu Gua Sunyaragi. Sebetulnya ada beberapa spot yang pengen dikunjungi. Begitu ngecek Google Maps, tujuan terdekat ternyata adalah Gua Sunyaragi yang terletak di Jalan Brigjen Dharsono (by-pass). Dari terminal Harjamukti yang letaknya di Jalan Ahmad Yani, Gua Sunyaragi ternyata cuma berjarak 5 km. Itu pun jalannya tinggal lurus terus, gak pake belok kanan kiri. Begitu jalan ke depan terminal, kita sempat menanyakan angkot yang lewat Gua Sunyaragi. Tapi, kebetulan di Cirebon ternyata banyak becak yang mangkal di hampir setiap setopan. Makanya, kita pilih naik becak. Sebelum naik, kita berniat nego sama mas-masnya, tapi begitu dia bilang ongkosnya sepuluh ribu, tanpa harus nego kita pun segera naik ke atas becak tanpa basa-basi.

Sampailah kita ke Gua Sunyaragi. Harga tiket masuknya Rp10.000. Dari info yang kita dapat sebelumnya, gua yang juga disebut Taman Sari Gua Sunyaragi ini adalah salah satu cagar budaya Kota Cirebon. Di dalamnya, terdapat bangunan yang mirip candi yang ternyata adalah gua. Gua tersebut konon merupakan tempat bermeditasinya para sultan Cirebon terdahulu. Senada dengan namanya, sunya yang artinya sepi dan ragi artinya raga. Jadi, mungkin gua ini tepat buat dijadikan tempat wisata bagi raga-raga yang kesepian *cung yang kesinggung* :lol:

Monumen Sintren, kesenian tradisional khas Cirebon.
Guanya berupa candi yang luas berbetuk gunung kapur dengan pintu-pintu yang saling berhubungan di bawahnya membentuk terowongan. Ada beberapa ruangan meditasi, ruang ibadah, kamar, dan tempat pemandian. Masing-masing gua punya fungsi yang berbeda-beda, namun intinya semua untuk meningkatkan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh para sultan dan prajurit pada saat itu. Bahkan, sampai sekarang, masih ada yang percaya kalau berkunjung ke gua ini bakal enteng jodoh. Ah, ternyata cuma bohong alias mitos. Buktinya, .... *mendadak hilang sinyal*

Puas muter-muter dan cukup istirahat setelah perjalanan lima jam tadi pagi, kita langsung lanjutkan perjalanan. Tujuan selanjutnya alun-alun kota Cirebon sambil cari penginapan buat tidur malam itu. Dari depan Gua Sunyaragi, kita naik angkot D7 yang katanya melewati alun-alun kota Cirebon. Begitu masuk jalan utama di kawasan pusat kota, Jalan Siliwangi, kita putuskan buat jalan kaki sambil cari makan. Ongkos angkot cuma Rp4.000. Kebetulan ada swalayan Yogya Siliwangi. Karena baju yang kita pake udah gak keruan, berasa cucian belum dikeringin alias basah habis sauna alami, kita cari T-Shirt murah buat ganti. Beruntung, di Yogya kan kalau akhir pekan suka ada diskon :lol:

Seperti biasa, kalau datang ke satu daerah, saya suka penasaran sama makanan khasnya, meski di Bandung juga mungkin banyak. Hitung-hitung perbandingan aja. Makan siang kali itu, sama empal gentong, meski kurang greget sih karena makannya di pujasera swalayan. Setelah dari Yogya, kita jalan dan cari-cari penginapan yang rate-nya bersahabat di kantong. Dan, alhasil ketemulah Hotel Slamet dengan rate Rp200.000/malam (dikurangi diskon 30% pula). Letaknya di Jalan Siliwangi no. 95 dekat Balai Kota Cirebon. Fasilitas juga cukup: dua kasur single bed, AC, TV, dan sarapan. Kita pun istirahat sebentar sebelum lanjut keliling-keliling lagi.

Sore harinya, kita keluar hotel buat muter-muter lagi. Tujuannya shalat magrib di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Sebelumnya, kita nongkrong-nongkrong kece dulu di alun-alun Kejaksan yang cukup luas. Ternyata, menjelang sore, panas udah agak menurun dan mulai lebih sejuk berangin. Suasana alun-alun juga mulai ramai sama orang-orang yang nongkrong dan beberapa pedagang kaki lima mulai buka lapak. Yang saya suka dari Kota Cirebon adalah orang-orang yang bersahaja. Orang-orangnya juga asyik dan gak rese. Bahkan beberapa pengamen yang kita temui pun santun-santun. Di alun-alun, saya pilih jajan tahu gejrot yang sebetulnya udah mainstream. Sempat mau coba bubur sop yang menurut saya "makanan baru" tapi perut ternyata lagi insyaf, bisa juga berhenti di saat sudah kenyang. Tumben.

Setelah itu, saya dan Novan lanjut ke tujuan utama, Masjid Agung Sang Cipta rasa yang merupakan masjid tertua di Cirebon. Masjid yang dibangun pada tahun 1480 Masehi ini terletak di Keraton Kasepuhan. Sebetulnya pengen masuk ke keraton, tapi berhubung sudah terlalu lama sendiri, eh terlalu malam, maksudnya, ke keraton pun harus diundur besok hari. Dari alun-alun Kejaksan, kita pilih naik becak lagi. Uniknya, begitu kita tanya tarifnya, si mas-mas tukang becaknya bilang, "Terserah Um bae." Gitu katanya, terserah. Wah, rasa kemanusiaan saya pun teruji. Begitu kita bilang Rp10.000 (sama dengan tarif becak sebelumnya), dia pun setuju. Lalu, berangkatlah kita sambil ngobrol-ngobrol sama si masnya mengenai spot-spot menarik di Cirebon. Tanpa sadar, perjalanan ternyata cukup jauh. Saya kira, sepuluh ribu masih kurang. Makanya, begitu sampai di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, kita kasih si masnya Rp20.000, Shaleh banget yak, mas-mas becaknya.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa ternyata ramai. Masjid yang diarsiteki oleh Sunan Kalijaga ini punya dua ruangan, yaitu ruang utama di tengah-tengah masjid dan beranda yang sangat luas. Shalat jamaah dilakukan di beranda. Tapi, setelah shalat, saya penasaran masuk ke ruang utama yang memiliki sembilan pintu, melambangkan wali songo. Di sebelah kanan masjid terdapat dua sumur yang konon airnya gak pernah berhenti mengalir. Ada yang bilang itu sumur zamzam yang berkhasiat menyembuhkan segala penyakit dan bisa menguji kejujuran seseorang. Begitu ditanya sama penjaga masjid, beliau bilang itu cuma mitos. Tapi, agak heran aja beberapa orang memang terlihat mengambil air di dalam sumur ke dalam botol air mineral. Haus mungkin, ya.

Dua sumur di beranda Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Suka sama jalan ini! Jalan Pasuketan.
Selepas shalat magrib, kita lanjut jalan kaki ke arah pantai. Katanya ada taman pantai yang indah. Namanya Taman Ade Irma Suryani. Setelah menyusuri jalanan Kota Cirebon yang sepi (padahal masih di bawah waktu Isya), ternyata Taman Ade Irma Suryani sedang direnovasi sehingga tertutup buat umum. Wah, gagal deh melihat pantai di malam hari. Kita pun lanjut ke area nongkrongnya anak gaul Cirebon. Kita nemu pusat kuliner di Jalan Pasuketan. Sepanjang Jalan Pasuketan ini, kanan kirinya berdiri gedung tua peninggalan Belanda yang keren-keren. Jalanan pun cenderung sepi dan temaram. Kita pun nongkrong-nongkrong sebentar sambil minum yoghurt.

Lepas nongkrong, perjalanan dilanjut ke Mal Cahaya dan Mal Asia di Jalan Karanggetas, dua mal cukup besar tapi sepi banget. Beda jauh sama mal-mal di Bandung yang gak bisa berhenti dikerubungin pengunjung. Hingga akhirnya, jalan kaki berakhir di Jalan Siliwangi lagi. Sebelum ke hotel, kita jajan lagi di alun-alun Kejaksan. Katanya, belum sah nih kalau ke Cirebon belum makan seafood khas Cirebon. Makanya, kita pun makan malam di warung seafoodpinggir jalan dengan menu kerang dan cumi. Karena kurang puas, untuk makanan pencuci mulutnya, saya beli tahu petis yang rasanya petisnya agak aneh, bau terasi :lol:

Pelabuhan Cirebon
Jalan-jalan di hari itu pun berakhir di hotel. Besok paginya, kita langsung check out. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Ciamis, sesuai rencana, kita mengunjungi Keraton Kasepuhan Cirebon terlebih dahulu. Tapi begitu naik becak lagi dari hotel sampai ke keraton, kita penasaran buat masuk ke pelabuhan. Sayang aja, datang ke kota yang letaknya pinggir laut, tapi sama sekali gak lihat lautnya. Kata mas-mas tukang becak, pelabuhan yang dibuka buat umum itu Pelabuhan 1. Lalu, kita pun diantarkan sampai ke Pelabuhan 1. Begitu sampai di pintu gerbang, lalu seorang petugas keamanan menghampiri dan bertanya maksud dan tujuan kita. Mungkin, kita--atau saya--keliatan turis banget kali, ya :mrgreen: Sialnya, si petugas keamanan "malak" kita dengan bilang kalau mau ambil foto harus bayar. Lalu, kita bilang cuma mau lihat-lihat, eh tetap aja dia minta bayar. Walhasil, kita kasih aja Rp10.000 biar urusan kelar. Runtuh sudah kesan "bersahaja" yang tadi saya bilang di awal.

Setelah rasa penasaran cukup terbayar, kita segera keluar area pelabuhan dan menuju keraton. Keraton Kasepuhan merupakan satu dari dua keraton yang ada di Cirebon selain Keraton Kanoman. Sebetulnya masih ada dua kesultanan lain di Cirebon, yaitu Keprabon dan Kacirebonan, cuma dari segi arsitektur, yang memiliki keraton besar hanya Kasepuhan dan Kanoman. Dan, keraton Kasepuhan adalah yang paling besar dan (katanya) megah. Untuk membuktikan, saya pun menyempatkan masuk ke lingkungan keraton.

Tampak dalam Keraton Kasepuhan
Pedati Gede Pekalangan
Karena saya berkunjung di akhir pekan, suasana keraton sangat ramai. Kebanyakan adalah bapak-ibu pengajian atau majelis taklim yang sedang ziarah dari luar kota. Tiket masuk keraton Rp20.000, terhitung agak mahal untuk ukuran tempat wisata lokal. Tapi, ekspektasi saya adalah harga tiket tersebut tentu sebanding dengan perawatan keraton yang dibangun oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada 1529 Masehi ini. Namun, baru juga beberapa langkah masuk, tampak beberapa pegawai (atau orang luar?) yang menunggui sebuah kotak tempat berisi uang. Para pengunjung pun dianjurkan atau diminta memberikan uang "seikhlasnya". Dan, semakin masuk ke beberapa sudut keraton pun ternyata masih ada hal serupa. Bahkan, begitu masuk ke area Siti Inggil, ada seseorang (yang entah pegawai atau orang luar) menawarkan kita menuju salah satu pemandian untuk "dimandikan". Tentu saja, ada "ongkos seikhlasnya" apalagi jika airnya mau dibawa sebagai berkat.

Namun, hal-hal yang menurut saya cukup mengganggu tersebut tergantikan dengan dua buah museum yang ada di keraton, yaitu museum benda pusaka dan museum kereta singa barong. Kita bisa melihat sejarah kerajaan Islam yang pernah berjaya di utara Pulau Jawa tersebut. Selain itu, karena kita berdua gak pakai jasa pemandu wisata (guide), begitu ada rombongan yang sedang diarahkan oleh seorang pemandu, kita ikut nimbrung aja biar dapat informasi sejarah sekalian :lol:

Selesai keliling-keliling keraton, saya dan Novan pun segera bergegas ke terminal Harjamukti lagi. Selanjutnya adalah agenda paling penting, mengunjungi saudaranya Novan yang hari itu melangsung pernikahan. Kita berangkat selepas Zuhur. Dari terminal Harjamukti, kita naik bus Cirebon-Tasikmalaya dengan rute Cirebon-Kuningan-Ciamis-Tasikmalaya. Perjalanan cukup menyenangkan karena sepanjang perjalanan melewati Kuningan, kita disuguhi pemandangan Gunung Cermai. Kuningan mungkin bisa jadi destinasi jalan-jalan dadakan berikutnya. Kita pun turun di Kawali, Ciamis. Sebelum sampai lokasi, sempat cari mushala buat shalat Ashar, cuci muka, dan ganti baju biar gak kusut-kusut amat pas datang ke resepsi yang ternyata begitu kita datang, acaranya udah selesai :D

Posting Komentar

0 Komentar