Backpacking Malaysia: Menutup Hari di Sungai Melaka (Part 3)

Setelah puas berkeliling Melaka di siang hari sambil bawa-bawa backpack dan selempang, saya dan Novan segera check in hostel terlebih dahulu sekitar jam 13.30. Saya merebahkan dulu kaki ditambah terlelap sejenak. Setelah cukup segar kembali, saya dan Novan langsung lanjut keliling-keliling. Sehabis mandi lagi dan shalat Ashar, kami pun segera keluar dari hostel. Perjalanan lebih leluasa karena kami gak bawa backpack lagi kayak tadi siang. Cukup membawa selempang yang isinya cuma dompet, paspor, power bank, dan tongsis! Bawa sunblock sih, cuma gak usah disebut di sini biar gak ketahuan 😃


Melaka menjelang sore ternyata lebih eksotis. Kami menyusuri jalanan sekitar hostel di pinggir sungai Melaka sambil menikmati foto-foto di depan mural yang beraneka ragam. Ditambah, sesuai julukannya sebagai World Heritage City, ada saja monumen atau tempat bersejarah di sana. Mulai dari benteng, masjid, hingga kuburan. Guest house tempat saya dan Novan nginep letaknya di Jalan Hang Kesturi. Gak jauh dari situ ada makam Hang Jebat, sahabat dari legenda Melayu yang paling kesohor, Hang Tuah.

Tujuan pertama sore itu adalah benteng A Famosa, bukit St. Paul, Menara Taming Sari, dan berakhir dengan river cruising di sungai Melaka. Menuju benteng A Famosa dan bukit St. Paul berarti balik ke arah Istana Kesultanan Melaka lagi. Tapi, promenade sepanjang sungai Melaka yang kami susuri ditambah bangunan klasik dihiasi mural yang cantik sama sekali gak bikin bete dan bosan. Begitu sampai di pusat kota Melaka, ditandai dengan Bangunan Merah, kami langsung menuju benteng A Famosa, benteng peninggalan Portugis yang termasuk ke dalam sisa-sisa arsitektur Eropa paling tua di Asia.

Setelah itu, kami sedikit menanjak ke bukit St. Paul. Di sana terdapat sebuah gereja Katholik tua yang merupakan gereja tertua di Malaysia. Berdiri pada 1521 pada masa koloni Portugis, sisa-sisa peninggalan gereja tersebut masih menjulang tinggi dan terasa magis. Untuk mencapainya, kita perlu mendaki puluhan anak tangga. Di halaman depannya terdapat patung St. Francis Xavier yang menyambut kedatangan para turis. Disebut magis, karena suasana dalam gereja begitu hening dengan berbagai ornamen khas abad pertengahan. Di bagian tengah terdapat bekas makam ST. Francis Xavier yang dipenuhi dengan uang koin. Entah siapa yang memulai dan buat apa, banyak turis melemparkan koin ke dalamnya. Kalau saya sih, sayang, mending buat toilet umum 😃

Bukit St. Paul.
Benteng A Famosa
Selepas puas memandangi panorama Melaka dari atas bukit, kami turun dan bergegas menuju Menara Tamingsari, salah satu ikon kota Melaka yang sayang jika dilewatkan. Sebelum menuju Menara Tamingsari, kami mampir sebentar di Mal Dataran Pahlawan buat cari-cari pengganjal perut dan cari toilet percuma alias gratis 😃 Setelah dapat beberapa camilan, kami langsung jalan kaki menuju Menara Tamingsari. Begitu sampai di halaman menara, kami jajan-jajan dulu street food-nya Malaysia yang gak jauh beda sama di Indonesia. Ada hotdog, burger, jus, dan sebagainya. Sambil menyantap jajanan, kami menikmati sajian musisi jalanan yang menghibur kami dengan lagu-lagu ST12, Noah, dan beberapa lagu Malaysia.

Menara Tamingsari adalah menara pandang dengan ketinggian 110 meter. Di menara tersebut, pengunjung dapat melihat pemandangan Melaka dalam 360 derajat. Menara tersebut berkapasitas 66 penumpang. Setelah membawa penumpang dari dasar, menara tersebut akan naik dan berputar arah secara perlahan. Maka, pengunjung pun dapat melihat kota Melaka yang tertata sangat rapi, laut lepas Selat Melaka, dan sungai Melaka. Untuk naik menara Tamingsari, pengunjung non-Malaysia perlu membayar RM23 atau sekitar Rp70.000. Novan sih udah sok-sok ngomong Melayu, tapi si abang-abang cantik yang jaga minta IC alias KTP Malaysia 😃

Menara Taming Sari dan Selat Melaka dilihat dari bukit St. Paul.
Bangunan-bangunan di tepi Selat Melaka berderet rapi, dilihat dari dalam Menara Taming Sari.
Setelah gak puas naik menara karena cuma tujuh menit di udara, kami langsung menuju Melaka River Cruise di tepi Barat. Langit mulai jingga tapi matahari masih belum juga tenggelam, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 18.00. Kami langsung antre membeli tiket untuk ikut River Cruising. Tarifnya RM15 untuk non-Malaysia dewasa. Novan selalu saya percayakan buat beli tiket karena dia bisa pakai bahasa Melayu. Harapan sih biar dikasih harga orang Malaysia, haha. Tapi lagi-lagi, untuk kedua kalinya, usaha kami gagal. Selalu saja diminta Mykad. Mungkin, bisa jadi bunyi r-nya Novan terlalu jelas. Orang Malaysia kan gak begitu jelas melafalkan bunyi r 😃

Sambil menunggu antrean, saya lihat-lihat dulu beberapa penjaja makanan dan aksesoris di samping konter tiket. Ada mbak-mbak yang jual parfum yang katanya home made. Cuma RM10 buat 3 parfum. Sebetulnya bukan butuh-butuh banget parfumnya, cuma seneng aja kalo ngajak ngobrol orang Malaysia langsung. Meski satu rumpun, kadang kalau kita gak benar-benar mendengarkan secara saksama, kita kadang sulit menangkap mereka bilang apa. Apalagi, saya orang Sunda tulen, bicara apapun, konsonan dan vokal selalu terdengar jelas dan lugas. Apalagi bunyi p dan j 😃

Setelah dapat tiket dan dipanggil oleh petugasnya, kami segera naik ke atas perahu. Saya dan Novan udah wanti-wanti buat gerak cepat ke posisi paling pojok karena enak berada paling depan. Begitu lihat kami riweuh, bapak-bapak depan kami tampak senyum-senyum kecut seolah mau bilang betapa noraknya kami. Duh, maaf, Pakcik. Awak baru je bekunjung kat Malaysia. Setelah siap, perahu pun meluncur dengan disertai audio yang diperdengarkan mengenai sejarah masing-masing tempat yang kami lewati.

Rumah-rumah sepanjang sungai Melaka
Melaka river crusing. Berangkat saat matahari beranjak turun dan kembali saat gelap.
Perahu yang kami tumpangi dalam river cruise melaju di atas Sungai Melaka sekitar 60 menit dengan perjalanan sepanjang 5,5 km. Selama itu, kami disuguhkan tidak hanya sungai Melaka yang tenang dan cantik, tapi juga pemandangan kiri kanan sungai yang menawan. Kami melewati beberapa spot menarik, seperti Kampung Morten. Kampung Morten adalah perkampungan orang-orang Melayu asli. Rumah-rumahnya berjajar sepanjang sungai dengan mempertahankan arsitektur asli dari zaman dulu. Katanya, warga kampung tersebut diminta pihak Kerajaan Malaysia untuk mempertahankan bentuk asli rumah mereka dengan kompensasi semua biaya perawatannya hingga kini ditanggung oleh negara.

Tidak hanya nuansa tradisioal, para turis juga disuguhi dengan bangunan-bangunan modern sekaligus arkais. Beberapa hotel berdiri megah, tapi kita pun agak menyaksikan beberapa peninggalan masa lampau, seperti replika kapal Portugis Flor De La Mar, replika kincir angin Belanda, dan beberapa jembatan bersejarah di Malaysia. Kami pun menikmati perubahan waktu antara sore hingga matahari tenggelam dan langit berubah gelap. Dalam sekejap, Melaka berubah temaram karena hanya diterangi lampu-lampu dari bangunan yang telah kami lewati. Begitu sampai di ujung perhentian Melaka River Cruise di sisi Timur, perahu pun memutar arah dan kembali ke perhentian awal.

Puas menyaksikan Melaka dari atas perahu, kami langsung bergegas menuju arah hostel. Niatnya jalan-jalan di Jonker Walk. Sebelumnya, begitu turun dari perahu sempat jajan-jajan dulu di sekitar. Novan membeli sate ubur-ubur yang dijual RM10 dan dapat bertusuk-tusuk. Lupa berapa tusuknya, yang jelas banyak. Novan bilang sih enak. Cuma, saya ngebayanginnya eneg, hehe. Kebayang jelly fish di Spongebob yang suka nyetrum 😃

Sate ubur-ubur.
Begitu masuk ke Jonker Walk, sayangnya suasana sepi berhubung waktu itu weekday. Gak ada pasar malam. Kami menyusuri jalanan pecinan dan melihat hanya beberapa toko kecil yang buka. Lalu, kami melewati masjid bersejarah, Masjid Kampung Keling. Masjid ini masih sangat tradisioanal. Tempat wudhunya masih berupa kolam. Arsitekturnya masih bergaya lama dengan tiang-tiang kayu yang masih sangat kokoh. Setelah shalat berjamaah, kami pulang dengan terlebih dahulu membeli air mineral yang dijual tanpa ditunggu penjualnya di pintu masuk.

Karena begitu sepi, kami langsung menuju hostel untuk beristirahat. Malam di Melaka begitu terasa pendek. Karena waktu riilnya sama dengan WIB tapi jamnya WITA, saya selalu beranggapan jam 22.00 di sana aslinya baru jam 21.00. Tapi tetap saja, orang-orang beristirahat pada jam 22.00. Sudah tak ada lagi yang bisa kami jejaki, langsung saja kami mengakhiri malam meski sebetulnya masih ingin menelusuri kota bersejarah ini.

Keesokan harinya, kami tak mau berlama-lama mager di hostel. Sepagi mungkin langsung keluar dan menikmati Jonker Walk di pagi hari. Suasana masih sepi seperti semalam, tapi bedanya kali itu sudah terang benderang. Banyak spot yang sayang buat ditinggal begitu saja. Kami sempat mampir ke Taman Warisan Dunia Jonker Walk di Jalan Hang Jebat. Di situ ada patung Datuk Wira Dr. Gan Boon Leong yang disebut sebagai the father of bodybuilder of Malaysia, hehe. Karena malu kalah saing otot, kami segera meninggalkan taman dan berakhir membeli sarapan di penjual nasi lemak pinggir jalan.

Sebagai kota sejarah, Melaka punya aneka bangunan historis, seperti: museum, gereja, istana, dan benteng. Begitu juga dengan masjid. Banyak sekali masjid bersejarah yang masih dipertahankan bentuk aslinya. Salah satunya Masjid Kampung Hulu.
Perjalanan dari hostel menuju halte bus terdekat.
Salah satu sudut jalan di Melaka. Kota Melaka cenderung sepi.
Yang jual nasi lemak itu makcik-makcik yang ramah. Ibu-ibu paruh baya itu langsung menebak kami orang Indonesia karena katanya kami kelihatan kelimpungan riweh sambil bicara bahasa Indonesia di depan si Ibu. Ibunya langsung cerita kalau dia keturunan Banjar juga dan dia bangga sekali dengan Indonesia. Ibu itu bercerita panjang lebar tentang politik Malaysia dan keluarga besarnya yang telah lama menghuni Melaka. Dia memanggil kami, “Anak Ibu.” Ibu tersebut juga menunjukkan kami makam Syamsudin Al-Sumatrani, ulama Aceh yang menyebarkan Islam di Melaka.

Setelah kenyang, kami pun pamit. Ibu itu juga menunjukkan kami jalan tikus menuju halte Kampung Hulu, tempat kami harus menunggu bus untuk pulang ke Kuala Lumpur pagi ini. Kami pamit dan segera menuju hostel. Gak ada waktu buat berlama-lama lagi. Hari ini, cerita di Melaka harus kami tutup. Perjalanan di hari Rabu ini akan diisi dengan Batu Caves, sebuah tempat wisata populer di sebalah utara Kuala Lumpur. Sampai jumpa, Melaka!

Setelah membereskan barang bawaan, saya dan Novan segera check out dari Uncle Bala’s Guest House. Kami berpamitan sama Mbak Sri, penjaga hostel yang aslinya dari Banyuwangi. Kami pun menuju halte bus Kampung Hulu dengan menempuh rute yang ditunjukkan Ibu tadi. Kami naik lagi bus Panorama menuju Melaka Sentral dengan disambung bus menuju TBS BTS, Kuala Lumpur.

Cerita di Batu Caves, saya lanjutkan di postingan selanjutnya 😊

Posting Komentar

0 Komentar